Mahasiswa Oceanografi semester 5
Sinopsis
Hidup di lingkungan yang padat penduduk dengan jumlah anak remaja yang
cukup besar, Daniel terbentuk seperti remaja lainnya di kampung. Sebagai bagian
dari sebuah komunitas, Daniel menunjukkan solideritasnya dengan cara membela
komunitasnya dalam kondisi apapun termasuk harus tawuran. Sebagai remaja pula,
rasa keingintahuannya juga cukup besar. Hidup di lingkungan yang kurang sehat, mendapat
akses ke dunia pronografi bukanlah perkara yang sulit, menonoton film dan
majalah porno hingga masturbasi ia lakukan untuk memenuhi rasa penasarannya. Menginjak
usia 18, Daniel yang dikenal dengan nama Boy, mulai menjalin hubungan asmara dengan adik
kelasnya. Setelah melihat bahwa pacarnya suka berkonsultasi dengan paranormal,
ia bermaksud untuk “menobatkan”nya. Tetapi ia justru terjebak dan merasakan
keanehan dalam hidupnya. Mudah marah, berani dan suka melihat kesalahan orang
lain hingga akhirnya ia tidak bisa mengendalikan imajinasinya yang berakibat tidak
dapat membedakan antara fakta dan imajinasi. Akhirnya ia dirawat secara
intensif oleh seorang psikiater selama 20 harian. Berkat doa dan dukungan
keluarga pula, Boy dapat kembali pulih dan melanjutkan sekolahnya yang akan
segera menghadapi Ujian Akhir hingga akhirnya ia juga berhasil melanjutkan ke Perguruan
Tinggi Negeri di Jawa Tengah.
Kronologis
2006
Daniel mulai masuk dalam dunia
pornografi
2007
Terlibat tawuran dan suka
berkelahi
2009 -
pacaran dengan seorang yang tidak seiman
- berkonsultasi ke paranormal
- mengalami keanehan – keanehan
- depresi berat dan harus dirawat di rumah sakit
- muncul keinginan untuk bunuh diri
2010 -
sembuh dari depresi beratnya
- lulus ujian akhir dan ujian mandiri masuk perguruan
tinggi
- mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang
Deskripsi
Kehidupan masa remajaku di
keluarga dan lingkungan (2006 – 2009an) Pokok
permasalahan
Bernama asli Daniel Jackson Subianto tetapi karena saya adalah satu
– satunya anak cowok dari 4 bersaudara maka saya lebih sering dipanggil Boy
sejak masa kecilku. Teman – temanku di kampungpun juga memanggilku demikian. Sampai
kini, saya lebih terkenal dengan nama Boy ketimbang Daniel. Keluargaku adalah orang
yang takut akan TUHAN dan orang tuaku lebih banyak mempengaruhiku secara rohani.
Bisa dikatakan mereka lebih berat menekankan kehidupan kekristenanku dan
bagaimana saya menjalani ritual keagamaan. Saya juga adalah seorang anak yang
mempunyai daya pikir dan khayal yang tinggi. Maka tidak heran kalau papaku sering
memasokku dengan buku – buku ilusi mata.
Saya sekeluarga tinggal di sebuah kampung di Tebet yang jumlah anak
seusiaku tidaklah sedikit. Karena saya juga bergaul dengan mereka dan anak –
anak yang lebih dewasa dari saya, nilai – nilai mereka juga secara tidak
langsung mempengaruhiku. Bukan hanya keluarga, pergaulanku juga mengambil peran
besar dalam membentuk kepribadianku. Saya sebagai seorang Kristen yang tahu
kebenaran tapi juga sebagai anak yang lagi bertumbuh yang membutuhkan penerimaan
di lingkungan.
Saya menikmati pornografi
(2006 - 2009an)
Alasan awal adalah saya hanya ingin tahu atau penasaran karena semua
anak – anak SMP seusiaku melakukan itu. Maksudnya adalah teman – temanku sangat
aktif mencari sumber – sumber gambar – gambar atau video orang telanjang yang kemudian
membuatku tergoda untuk saya ikuti. Sepertinya nikmat melihat majalah atau
video porno karena saya belum tahu sebelumnya. Kenikmatan ini terus mengikatku dan
imajinasiku untuk memuaskan hawa nafsuku saya buahi dengan melakukan
masturbasi. Semakin kunikmati semakin kuterikat. Semakin kuterikat semakin
sulit saya melepaskannya. Saya terus ketagihan dan tidak puas rasanya kalau
tidak melakukan salah satu dari dosaku ini. Keinginan itu menyerang terutama di
saat kesendirianku.
Tawuran adalah salah satu
caraku menunjukkan solideritas (2007an)
Semakin dewasa semakin beranilah saya. Keberanian sebagai laki –
laki saya tunjukkan dengan cara memamerkan kekuatan ototku. Ini adalah cara
yang paling umum dilakukan remaja dan pemuda di Jakarta untuk menunjukkan kekuatan ototnya
dan juga komunitasnya. Sebagai bagian dari warga kampung, yang pada dasarnya
suka tawuran, maka mau tidak mau saya juga harus terlibat di dalamnya. Keterlibatan
dalam tawuran bagiku adalah dasar saya menunjukkan solideritas sebagai bagian
dari kelompok. Apa yang saya lakukan dengan remaja pemuda di kampungku adalah perwujudan
kita untuk menunjukkan kuat dan kuasa kita.
Lawan kita adalah siapa saja yang berusaha melemahkan kekuatan kita. Siapapun
yang berani mengatai kita atau menciderai salah satu dari kita, itu berarti mereka
mengganggap dirinya lebih kuat dan berani dari kita. Kita tidak setuju dengan
itu. Kita tidak terima. Cara kita untuk menunjukkan ketidak setujuan dan
ketidakterimaan itu adalah dengan membalasnya. Gigi ganti gigi, mata ganti
mata. Saya merasa sangat kuat saat bersama teman – temanku karena bersama
mereka seolah – olah semangatku untuk menghadapai musuhku sangat besar. Saya
dan rekan – rekan tidak tanggung – tanggung untuk mengalahkan musuh yang
penting mereka terluka lebih parah dan lebih banyak jatuh korban dari pada
kita. Berkali – kali saya terlibat tawuran, berkali – kali pula saya menghajar
dan melukai orang – orang yang kami anggap musuh. Kita merasa kuat dan gagah
jika kita telah berhasil menaklukkan musuh atau paling tidak sudah membuat
musuh babak belur. Kalau boleh jujur, sebenarnya rasa takut itu muncul cukup
besar. Kasihan melihat “korban” sudah tidak berdaya, kita tendang sekuat
tenaga, pukul membabi buta bahkan tak jarang kita gunakan batu untuk membuat
mereka menyerah dan terjatuh lebih cepat. Tapi itulah “kebudayaan” kita karena senior
– senior kita selalu memotivasi adik – adiknya seperti saya untuk maju membela
nama baik kampung. Saya merasa beruntung karena tidak pernah sampai dikeroyok
atau berurusan dengan pihak keamanan seperti teman – temanku yang lain.
Menyatakan cinta dengan
seorang gadis yang tidak kucintai (Nov – Des 2009) Pokok permasalahan
Selain aktif di “kegiatan” remaja pemuda kampung, saya juga aktif di
beberapa kegiatan sekolah. Tentu saja kegiatan di sini adalah selalu kegiatan
positif salah satunya adalah Pentas Seni. Di sela – sela kesibukanku menyipakan
Ujian Akhir Nasional, saya duduk sebagai seksi acara di Pensi tersebut. Tugas
saya adalah menjelaskan beberapa acara ke setiap siswa sekolah. Maka cara yang
kutempuh adalah masuk dari 1 kelas ke kelas yang lainnya, mempresentasikan
acara yang kita rencanakan dan miliki. Tentu saja jumlah siswa yang saya temui
sangat banyak dan tidak semuanya pula saya kenal. Seusai saya mengerjakan semua
tugasku, saya mendapat pesan sms dari nomer yang tidak tersimpan di
handphoneku. Yang ia tuliskan adalah rasa simpatinya kepadaku. Meski saya tidak
terlalu meresponnya dan tidak mengenalnya, secara giat ia terus mengirim sms
bahkan telpon. Belakangan saya ketahui bahwa di tengah – tengah saya mem”floor”kan acara tersebut di
salah satu kelas 2, ternyata salah satu gadis menaruh simpati kepadaku. Ia berniat
untuk menemuiku dan sekedar ingin tahu orangnya, saya menemuinya di kantin
sekolah. Cantik memang si gadis ini tapi rasa cinta itu tidak pernah muncul di
hatiku. Kataku saat itu, “Oo.. ini toh yang bisanaya sms dan telp gue.”
Bukannya menyerah mendapat perlakuan dingin dariku, ia justru semakin getol mengirimiku
pesan dan telpon. Intensitasnya sudah terlalu sering dan sangat menggangguku. Saya
balas untuk menghentikan perjuangannya untuk berkomunikasi denganku dalam 2
minggu terakhir ini. Tapi saya tidak tahu, waktu ketemu berikutnya dengannya saya
langsung “tembak” adik kelasku ini. Rasa cinta itu tiba – tiba muncul dan
mendorongku untuk menyatakannya kepada gadis cantik yang tidak seiman denganku
ini. Tentu saja orang tua dan kakak - kakakku tidak mengetahui mengenai hal
ini.
Tokoh berpengaruh di
kehidupan cewekku (Des 2009)
Secara “resmi” kami berstatus sebagai seorang kekasih. Sepasang
remaja yang menjalin kasih hanya untuk memuaskan hawa nafsu kita. Cewekku
menunjukkan rumahnya kepadaku tapi saya tidak pernah diijinkan masuk ke
rumahnya. Hanya sebatas tahu bentuk dan warna rumahnya tanpa pernah merasakan
kursi tamunya. Saya tidak ambil pusing dengan keputusannya yang terpenting saya
bersamanya. Lebih banyak ia mengajakku ke rumah seorang pembimbingnya yang
jaraknya tidak jauh dari rumahnya. Di rumah inilah saya lebih banyak
menghabiskan masa – masa pacaran dengan cewekku ini. Kali pertama menginjakkan
kaki di rumahnya, ketenangan hati ini tidak ada padaku. Rumahnya gelap,
berantakan dan terkesan angker. Patung – patung aneh berdiri di sudut – sudut
ruang. Nyala lampu remang – remang, hanya sebatas ada cahaya di dalamnya. Saat
saya diperkenalkan dengan si tuan rumah, saya hanya dapati ketegangan dan senyum
sinis di wajahnya. Sayapun juga tidak merasa nyaman bertemu dengannya dan
berada di dalam rumah aneh itu. Kata cewekku memperkenalku kepada wanita
setengah baya ini, “Mbah, ini loh orangnya itu.” “Oo.. ini toh cowok yang kamu
ceritakan itu?” balas wanita yang dipanggil mbah oleh cewekku ini. “Belum terlalu
tua kok sudah dipanggil mbah” pikirku. Dari wanita inilah, cewekku sering
mengkonsultasikan permasalahannya kepadanya dan mendapat jawab darinya. Termasuk
ketertarikannya kepadaku yang tidak mendapat respon positif dariku kala itu
juga adalah salah satu topik konsultasinya. Saya mengetahuinya setelah saya
melihat begitu dekatnya cewekku dengan mbah ini. Apa saja yang sedang ia alami,
ia konsultasikan dengan mbah ini dan apa yang mbah ini katakan ia pasti akan
turuti.
Saya mulai
mengkonsultasikan hubungan kita dengan mbah (Des 2009)
Sebagai tuan rumah, seolah ia berkewajiban menjamu tamunya. Meski
hanya menyajikan sebotol minuman teh, cukuplah itu bagiku untuk menunjukkan
kesan baik dan menghormatiku sebagai tamu. Ia juga mencoba mengajakku ngobrol dan
tanya tentang diriku. Saya melihat mbah ini begitu meyakinkan cara ngomongnya. Setelah
berhari – hari berkunjung ke rumahnya dan mengetahui aktifitas yang
dilakukannya, saya cenderung menyebut mbah ini sebagai seorang paranormal. Di
rumah ini pula kita selalu “ngedate”. Tempat yang ideal untuk berpelukkan dan
berciuman dengan cewekku di salah satu ruangan gelap itu.
Saya teringat dengan perkataan bapakku bahwa gelap itu tidak akan
dapat bersatu dengan terang. Saya tahu itu. Tapi saya terus mencoba untuk jalan
dengan gadis ini. Di saat yang sama, saya juga ingin lepaskan ia dari jerat
mbah paranormal ini. Saya berdoa supaya hubungan kita ini baik – baik saja. Tapi
anehnya, saya justru ikut jatuh bersama cewekku mengkonsultasikan hubungan kita
dengan mbah ini yang sebelumnya saya sudah taruh curiga padanya. Lebih – lebih
setelah saya minum teh botol itu. Memang bukan keinginan saya untuk konsultasi
dengannya tapi perkataannya begitu mantap. Maka tidak salah apabila ia menjadi
tujuan anak – anak muda untuk berkonsulatasi tentang cinta, kesuksesan dan
lainnya.
Pacaran yang membawa
kepada masalah besar (Des 2009)
Seperti bisaa saya berkunjung ke rumah mbah ini entah dengan cewekku
atau dengan temanku. Dengan ditemani seorang teman kampung, saya datang berkunjung
ke sana dan cewekku sudah ada di sana. Ia memang lebih banyak menghabiskan
waktunya di rumah serem itu. Kedatanganku kesana tanpa janji adalah bukan yang
mengagetkan baik bagi mbah maupun cewekku. Saat kutemui mereka, si mbah sedang
main cincin dan ngomong dengan cewekku, “bisa nti diikat.” Kataku dengan penuh
penasaran. “Diikat apanya mbah?” “Ah gak, gak ada apa – apa” balasnya.
Saya tahu dan sadar bahwa hubunganku tidak beres dan wanita
paranormal ini pun juga tidak beres. Saya mencoba menyadarkan cewekku tentang
perangkap ini tapi sulit baginya untuk lebih mempercayaiku. Niatku untuk untuk
menyelamatkan si gadis ini juga terendus oleh si mbah. Cewekku yakin betul
kalau setiap masukkan yang diberikan oleh si mbah itu selalu baik dan
bijaksana. Kedengarannya memang baik tapi selalu menjerumuskan dan tidak ada
damai. Masih berumuran jagung hubungan kita tapi kita semakin sering bertengkar.
Saya berjaga – jaga dengan berdoa, memuji TUHAN dan membaca Alkitab
supaya hubunganku dengan TUHAN tetap dekat juga. Saya merasakan ada peperangan
rohani setelah saya menjalani hubungan cinta monyet ini. Sepulangnya saya
selalu ambil gitar kemudian memuji TUHAN. Saya habiskan waktuku untuk menyembah
DIA sampai – sampai saya melihat pohon besar di depan rumah berbentuk TUHAN
YESUS yang sedang membuka tangannya. Saya semakin serius menyembahNYA, alunan gitar
semakin cepat. Kubuka mataku memastikan “penampakan” itu melalui jendela
kamarku. Tapi pohon itu hanya sebatas pohon besar tanpa bentuk yang aneh. Sepanjang
malam mataku terpejam tapi pikiranku jalan terus. Tiga hari sudah saya tidak mengistirahatkan
tubuh dan pikiranku tetapi kekuatan untuk bersekolah dan beraktivitas yang lain
masih ada. Keesokan harinya saya berencana untuk mengakhiri hubungan yang banyak
menyita waktu, tenaga dan pikiranku ini. Saya menyerah. Saya tidak mampu
mengubah cewekku.
Putus hubungan yang membuatku
jatuh sakit (Des 2009) Konflik
Belum mengutarakan rencana “pemutusan hubungan kasih” ke cewekku, si
mbah tiba – tiba meneleponku. Untuk kali pertama ia menghubungiku dan itu
menjadi tanda tanya bagiku. Tidak pernah ia menghubungiku tapi saat pertama
meneleponku, ia justru minta maaf untuk sesuatu yang tidak jelas maksudnya. “Mbah
minta maaf ke kamu ya” demikian katanya singkat.
Hal ini tidak menyurutkan niatku untuk memutuskan cewekku. Saya
menghubunginya dan mengajaknya bertemu di dekat rumah. Setelah matahari
terbenam, saya menemuinya di pinggir jalan dan menyampaikan maksud pertemuan
itu. Pada kesempatan itu, saya juga coba bongkar rahasia si mbah. Malahan ia
membalasnya dengan jeritan dan tangis, “Tidak….. tidak mungkin mbah seperti
itu.” Perlahan ia keluarkan sesuatu dari dompetnya. Diberikannya bungkus putih
kecil itu kepadaku. Kuraih dan kubuka. Saya hanya melihat lipatan kertas yang
bertulisakan kaligrafi bahasa yang tidak saya mengerti. Dengan senyum dan tawa,
kurobek – robek kertas tak berguna itu dan kulemparkan dalam nama TUHAN YESUS,
sebagai tanda saya mengakhiri hubungan asmara
berumur 3 minggu itu. Tentu saja mantan cewekku itu melarang dengan teriakknya.
Tapi teriaknya hanya gertakan sambal yang tak mempengaruhi keputusanku.
Sepulang dari pertemuan itu, saya langsung terduduk lemas di kursi
tamu. Kedua orang tua dan ketiga kakakku tidak meninggalkan rumah di jam 9
malam itu. Dengan mata kuning kecapekan dan sisa – sisa tenaga, saya kumpulkan semua
seisi rumah. “Ma, kumpulkan semuanya. Ayo kita naik ke atas, penyembahan”
pintaku kepada mama. Permintaanku yang positif ini otomatis direspon positif
oleh orang rumah. Kita naik ke lantai dua, tempat yang bisaanya keluarga
jadikan mezbah keluarga, dan saya ambil gitar. Kita mulai menyembah dan saya
pula yang pimpin penyembahan itu. Semuanya berjalan dengan khusuk. “Jemaat”ku
pun demikian menikmatinya.
Kesaksian ibu Lidia (Mama)
Sebelum kita melakukan penyembahan bersama, seorang tetangga datang
memberitahuku bahwa Boy sedang marah – marah di pinggir jalan. Saya rasa ada
yang tidak beres dengan anak bungsuku. Sekitar jam 9 malam, ia datang dan
langsung merebahkan tubuhnya di kursi tamu. Matanya menguning dan kelihatannya
ia sangat kecapekan. Ia tidak bercerita apapun kepadaku dan sayapun juga tidak
bertanya apapun kepadanya. Boy mengajak kita semua untuk penyembahan dan kita
sangat setuju dengan ajakannya. Di lantai dua itu, kita mulai memuji TUHAN yang
dipimpinnya. Secara pribadi saya menikmati penyembahan bersama seluruh keluarga
malam itu hingga akhirnya saya berubah pendapat.
Awal mula ketidakberesanku
(Des 2009)
Seperti yang telah saya
katakan, semua menikmati penyembahan itu. Antara sadar dan tidak sadar, saya
memainkan gitar dan terus menyembah dengan ucapan di bibirku. Tiba – tiba, saya
tersadar. “Plak….” Papa menampar pipiku begitu kuat. Tamparannya juga membuat
darahku mendidih, “Apa loe pak, sini, gue bunuh loe pak” ancamku kepada papaku.
Kata – kata makian dan kutuk keluar dari mulutku, mengatai bapakku sendiri.
Setelah penyembahan berjalan berjam – jam dengan baik, di tengah –
tengah penyembahan itu tiba – tiba keluar kata – kata kotor, percabulan dari
mulutku dan sebuah perkataan yang
akhirnya membuat ayahku harus menghentikan penyembahan ini dan menamparku
sekuat tenaga: “Sembahlah aku! Aku YESUS”.
Kekhusukan itu pecah menjadi kekacauan. Saya berteriak – teriak
mengancam bapakku, mama dan kakak – kakakku mencoba memegangiku erat dan
mencegah. Di tengah keheningan malam itu, suara kerasku membangunkan para
tetangga yang sedang terlelap. Satu persatu berdatangan mencari tahu penyebab
kekacauan di tengah sela – sela jam istirahat itu. Mereka berpikir kalau
terjadi pertengkaran antara saya dan bapakku.
Kesaksian ibu Lidia (Mama)
Boy mulai ngacau. Kata – katanya sudah tidak menunjukkan kemuliaan
TUHAN sama sekali. Saat ia berkata, “Sembahlah aku! Aku YESUS”, suamiku harus
menghentikan “penyembahan”nya itu dengan tamparan keras. Bukannya selesai, Boy
malah marah – marah dan mengancam bapaknya. Ia coba berontak dan membanting
handphonenya meski saya pegangi erat tubuhnya. Jantungnya berdebar begitu kuat,
saya dapat merasakannya dengan jelas di tanganku. Saya kuatir kalau ia sedang terpengaruh
dengan obat – obatan terlarang.
Ia marah terus marah dan sesekali batuk. Batuk yang suaranya seperti
bukan suara anakku sendiri, seperti suara kakek yang lebih berat. Lambat laun
ia mulai meredakan diri. Ini adalah kesempatanku untuk memanggil teman – teman
doaku dan berdoa bersama. Baik tetangga maupun tim doaku berdatangan satu
persatu, mencoba membantu apa yang bisa mereka bantu. Setelah doa itu, sepanjang
malam kami berjaga menjaga anakku yang sudah tertidur kecapekan dan sesekali
terbangun, melapiaskan kemarahannya lagi.
Seperti orang mabuk kalah
judi (Des 2009) Konflik
Tak satupun tahu dengan pasti penyebab keanehanku. Mereka mengira
kalau kemarahanku terpengaruh oleh obat – obatan terlarang sehingga pagi
setelah kejadian itu saya dilarikan ke Rumah Sakit St. Caroleus. Menuju ke sana, di dalam taksi itu,
saya masih dalam kondisi sadar dan tahu arah tujuanku tapi dengan cepat pula
imajinasi bermain dan saya tidak bisa membedakaan kenyataan dan imajinasiku. Sambil
berjalan menuju ruang UGD, saya mulai mengoceh tak terarah lagi dan sesekali
sempoyongan bak orang mabuk yang kalah judi. Setelah diperiksa oleh dokter umum
dan psikiater, saya dinyatakan harus menjalani rawat inap dan terpaksa harus “merayakan”
natal yang jatuh 5 hari lagi di rumah sakit.
Di dalam rumah sakit,
pengalaman buruk saya alami (Des 2009)
Bangsal khusus orang depresi adalah tempat tinggalku selama di rumah
sakit. Di ruangan ini banyak teman senasib yang dirawat bersebelahan denganku. Layaknya
ruangan umum lainnya, kitapun berada di ranjang yang saling bersebelahan tanpa
tali pengikat karena kami cuma divonis sebagai pasien depresi, belum masuk ke
tahap kegilaan. Yang saya ingat, lengan kiriku terpasang selang panjang dan di
pangkalnya terdapat labu plastik berisi cairan bening. Saudara, rekan
sepelayanan, teman, dan rekan – rekan orang tuaku mulai silih berganti menjengukku.
Saya kenali mereka dengan baik bahkan kesalahan – kesalahan yang pernah mereka
perbuatpun saya dapat mengetahuinya. Setiap penjenguk datang, secara spontan
saya buka aibnya dan wajah ketakutan serta malu jelas terlihat di wajah mereka.
Saya pikir mereka dapat memaklumiku karena mereka tahu bahwa saya sedang
“gila”. Tak segan – segan saya juga mengancam dan melukai mereka. Tangan salah
seorang sahabat dekatku yang menjadi korban. Punggung tangan kirinya robek
berdarah kugigit saat ia mencoba menghindar dari panggilanku. Seorang lelaki
botak juga tak luput dari pelampiasan imajinasiku. Saya mencoba menghirup udara
segar di luar ruangan bersama mama dan papaku. Suasana pemandangan sangat
berbeda dari biasanya. Lebih segar dan aktivatas orang – orang di sekitar lebih
bervariasi. Saat kutengokkan kepalaku ke kiri, mataku tertuju kepada seorang
lelaki botak sedang duduk di bawah. “Ada
orang botak nich di sini. Sebentar lagi maling ini pasti mo beraksi nich.
Sebagai polisi, saya harus menghentikan aksinya nich” pikirku waktu saya
melihat orang yang tidak saya kenal itu duduk. Perlahan – lahan saya
mendekatinya, maju selangkah, maju lagi. “Dengan tendangan memutar ala Bruce
Lee, kuarahkan kakiku ke arah mukanya. Hiattt……. Buk…” Terjatuhlah ia tak
melawan, puaslah diriku tapi dihajarlah saya oleh bapakku sendiri seketika itu
juga. Sejak kejadian itu, dokter mulai menyuntikkan obat penenang ke tubuhku. Akibat
dari obat penenang itu, saya benar – benar “tenang” karena tidak ada kegiatan
lain yang bisa saya lakukan selain kejang – kejang, menggigit lidah dan
membalikkan mata.
Orang tua dan kakakku iba dan tak kuasa menahanku. Orang – orang
lain pesimis dan beranggapan bahwa dalam waktu tidak lama lagi saya akan kembali
ke alam baka. Hanya pujian dan doa yang sepanjang hari mereka panjatkan.
Perawatpun juga tak kuasa melarang “kegaduan” yang kami buat, mereka menyerah
dan pasien – pasien di ruanganku mulai satu – persatu berpindah tempat ke
ruangan lain.
Mencoba lepas dari usaha
pembunuhan (Des 2009)
Tak satupun yang menjengukku di siang hari itu. Mama ke kamar mandi.
Hanya kakakku yang sedang sibuk membaca Alkitab di kursi depan ranjangku. Saya
kembali pulih setelah dokter menyuntikkan obat yang lain ke tubuhku. Terbaring
di kasur dan selang infus masih terpasang di lengan. Terlihat masuk membuka
pintu seorang berbaju hitam dan ternyata dengan 6 orang berbaju hitam yang
lainnya. Berjalan maju, mendekati dan mengelilingi ranjangku. Mereka adalah
saudara – saudaraku. Ya, mereka adalah ke-7 saudaraku yang sudah meninggal
dunia. Wajah mereka telah rusak yang tak mungkin dikenali siapapun selain hanya
saya. Dibalik punggung mereka, tersimpan tangan dengan gunting tajam yang siap
menikamku. Saya terancam. Seketika saya bangun dari ranjangku, berdiri mencoba
melawan mereka. Teriakku, “Ngapain sich loe? Mau bunuh gue?” Saya rasakan mereka
mulai memegang kaki dan tanganku. Kuberontak dan semakin teriak melawan, dan
melompat dari ranjangku. Saya lepaskan dengan gigitan selang infus yang
menghalangiku untuk bergerak. Mereka pergi meninggalkan ruangan, gagal berusaha
“membunuh”ku. Saya mencoba kejar tapi kemudian saya menyadari bahwa itu
hanyalah imajinasiku.
Kesaksian ibu Lidia (Mama)
Teriakannya mengundangku keluar dari kamar mandi. Saya melihat Boy
berdiri di atas ranjang seorang diri tanpa infus terpasang di lengannya dan
darah keluar berceceran. Sementara anakku perempuan mencoba menenangkannya nampak
kebingungan apa yang sedang dilakukan dan dipikirkan Boy seolah ia sedang
berteriak kepada orang. Setelah itu ia mencoba lari keluar tapi kemudian
terhenti di pintu dan mulai tertunduk lemas. Kita panggil perawat dan Boy
kembali diberi suntik penenang.
Kesehatan jiwaku mulai ada
perubahan (Des 2009 - 2010)
Usaha untuk mencoba bunuh diri memang sering muncul di benakku dan
pikiran itu begitu menghantuiku. Setelah 4 hari di dalam ruangan itu, dokter
membawaku ke ruangan khusus dimana saya harus sepanjang hari di dalam kamar yang
jauh lebih kecil tersebut, seorang diri tanpa ada keluarga yang diijinkan
menunggu, tidak ada penjenguk dan tangan terbelenggu. Saya mulai teriak dan
stress tapi kemudian capek juga teriak – teriak dan berontak. Berangsur –
angsur saya mulai dapat mengendalikan diriku. Doa keluarga dan saudara –
saudara seimanlah yang membuat semuanya ini dapat saya lalui. Bahkan dokterpun
heran kalau saya dengan cepat membaik dan kembali menuju normal. Tepat di di hari
pertama memulai tahun 2010 dimana orang – orang di seluruh dunia merayakan
tahun baru, saya dan keluargaku merayakan kemenangan perjuanganku lepas dari
depresi berat ini. Dokter mengijinkan saya pulang dengan syarat harus mengkonsumsi
obat khusus 3 kali sehari sampai waktu ditentukan kemudian.
Menjalani pengobatan di
rumah dan mulai kembali beraktivas normal (2010an) Transformasi
Sepulang dari rumah sakit, saya masih harus mengkonsumsi beberapa
jenis obat sebanyak 3 kali sehari. Sebulan penuh saya mengkonsumsi obat
tersebut tapi karena tingginya biaya obat tersebut, mama beriman untuk
memutuskan berhenti mengkonsumi obat tersebut. Sebagai gantinya, ia membawaku ke
gereja untuk konsultasi dan didoakan oleh seorang hamba TUHAN. Aktivitasku
berangsur – angsur sudah kembali normal. Kegiatan rohani mulai saya ikuti. Saya
mulai melakukan kegiatanku seperti sedia kala termasuk melanjutkan sekolahku
yang terhenti selama kurang lebih 40 hari.
Bukan berarti sembuh total, kadang – kadang saya masih marah dan
pernah sesekali imajinasiku main lagi. Sewaktu di sekolah, saya marah dan
melemparkan sebuah jaket ke mantan cewekku, “Ini jaket loe”. Padahal jaket
tersebut adalah milik kakakku sendiri. Tantangan ini juga muncul di pihak
mamaku. Para tetangga atau teman – temannya banyak
yang merekomendasikannya untuk membawaku ke “orang pintar” supaya sembuh total.
Kadang – kadang ia tergoda untuk mengikuti anjuran itu tapi mama dan semua
keluargaku beriman hanya kepada YESUS sehingga saya dapat disembuhkanNYA secara
total.
Lolos Ujian Akhir Nasional
dan Ujian Mandiri masuk perguruan tinggi negeri (2010an) Transformasi
Tidak mengikuti pelajaran di kelas untuk kesekian waktu lamanya jelas
berpengaruh pada penangkapanku terhadap pelajaran yang diajarkan guru. Sempat
tertinggal tapi teman – teman sekelasku dengan rendah hati mau membimbing dan
membantuku belajar. Hingga akhirnya UAN tiba, saya dapat mengikutinya dan
dinyatakan lulus. Karena minat saya di pelajaran Fisika dan menyelam, saya
mencoba mendaftarkan diri di program studi Oceanografi di Universitas
Dipenegoro Semarang.
Melalui Ujian Mandiri masuk Perguruan Tinggi, saya dinyatakan lulus dan berhak
menyandang gelar Almamater Undip. Disana saya terlibat aktif di pelayanan
mahasiswa, membagikan pengalaman hidupnya kepada remaja dan pemuda baik di
gereja maupun di kampus serta menjangkau jiwa supaya kenal TUHAN Penyembuhku,
YESUS.
Kesaksian Andrie Yasmita (pembimbing rohani, Senior)
Boy adalah seoarang yang sangat bersemangat baik dalam hal
kerohanian dan kegiatan kampus. Saya juga melihanya sebagai pribadi yang kreatif.
Pertama kali berkenalan dengan Boy, kita sering sharing iman dan ia tidak
keberatan untuk menceritakn pengalaman masa lalunya. Sebagai orang yang lahir
baru, saya memiliki hati untuk mendukung pertumbuhan rohaninya, mengajar dan
membimbingnya. Setelah lahir baru, ia a memilki hati untuk melihat jiwa – jiwa
dan membimbing junior – juniornya di kampus.
SOLI DEO GLORIA
NB: Sekarang Boy kos di Semarang
dan ia pulang ke Jakarta
jika ada liburan kuliah.